Selasa, 27 September 2011

Jangan Diam, Karena Diam Tak Selalu Identik "Emas"!

Jangan Diam, Karena Diam Tak Selalu Identik "Emas"!
HARI itu, saya mendapatkan pelajaran berharga dari seorang teman wanita. Sebut saja namanya Fitri (30). Hari itu, mantan aktivis masjid kampus yang juga seorang penulis masalah-masalah kewanitaan ini sedang menuju sebuah warnet untuk mengirim sebuah email penting. Di sebelah Fitri, duduk seorang pasangan remaja menggunakan baju SMU. Si wanita, bahkan menggunakan kerudung (jilbab).
Belum lama Fitri menggunakan fasilitas komputer warnet, nampaknya ia telah gelisah dan tidak berkosentrasi. Beberapa detik kemudian, Fitri berdiri dan menghampiri kedua pasangan belia tersebut.
“Anda berdua sekolah di mana?,” ujarnya dengan pertanyaan sangat sopan.
“Sekolah di dekat sini saja mbak, memang ada apa?” jawab si pria.
“Boleh nggak saya bertanya sesuatu, “ lanjut Fitri. “Apakah Anda berdua sudah ingin menikah? Ataukah Anda berdua memiliki masalah dengan orangtua atas hubungan Anda berdua ini?
“Tidak. Kami tak ada masalah dengan ortu. Bahkan kami belum menikah, memang ada apa sebenarnya?,” tanya si pria dengan penuh penasaran.
“Nah, kalau itu masalahnya, Anda tidak boleh semena-mena menampakkan layaknya suami-istri di depan orang seperti ini. Jika Anda ingin segera menikah, atau ingin menikah tapi terbentur orangtua, saya bersedia membantu masalah Anda. Kalau perlu saya akan datangi orangtuamu untuk menjelaskan ini.
“Taukah Anda, bahwa apa yang Anda lakukan itu haram? Anda tak boleh melakukan peluk-cium dan lebih dari itu karena belum menikah. Apalagi Anda melakukan seenaknya di hadapan banyak orang, “ujar Fitri dengan tenang.
Entah karena merasa malu, atau waktu bermain di warnetnya habis, kedua pasangan itu segera beranjak pergi. Drama mengagetkan beberapa menit ini sempat disaksikan puluhan orang. Bahkan termasuk penjaga warnet.
“Saya ini wanita. Mungkin, saya tak mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar melebih layaknya pria. Tapi itulah yang bisa saya lakukan, sebagai bentuk selemah-lemahnya iman, “ ujar Fitri menjelaskan tindakannya itu kepada saya. Terus terang, sebagai pria saya sangat malu.
Mulai dari yang Remeh
Hari itu, aku telah mendapatkan pelajaran luar biasa dari seorang teman wanita saja yang luar biasa ini. Tapi berapa banyak di antara kita mau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar seperti Fitri?
Banyak di antara kita mengalami hal serupa, melihat langsung kemunkaran. Namun, banyak di antara kita mendiamkannya. Padahal, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah poros atau pusat yang agung dalam agama Islam. Kedua-duanya tak boleh dipisahkan. Tegaknya Islam di antaranya karena adanya amar ma’ruf dan nahi munkar.
Secara defenisi, ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari Allah.
Agama Islam menyuruh kepada pemeluknya untuk melakukan perbuatan yang baik, dan juga melarang atau mencegah pemeluknya untuk melakukan perbuatan yang keji serta munkar.
Ketika kedzaliman di mana-mana, kemaksiatan merajalela, kebodohan melanda, ketika akhlak manusia berubah menjadi layaknya hewan karena hawa nafsunya, dan bahkan manusia sudah tidak punya hati nurani lagi, saat itu datang Rasulullah Muhammad diutus oleh Allah SWT. Beliau datang untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Masalah ini dijelaskan dalam dalam surat Ali Imran ayat 110 yang artinya,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُون
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS: Ali Imran: 110).
Dari surat ini, Allah SWT mengatakan sendiri, bahwa umat Muhammad adalah umat terbaik, yang selalu menyeru kepada yang ma’ruf dan senantiasa mencegak kemunkaran. Bukan mendiamkan kemunkaran dan kemaksiatan.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Barangsiapa melihat suatu kemunkaran hendalah ia merobah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa kita diminta untuk mencegah kemunkaran sebisa mungkin dan dengan tahapan yang jelas. Pertama dengan tangan, kedua dengan lisan. Baru ketika semua tak mampu dilakukan, maka yang terakhir baru dengan doa.
Namum umumnya kebanyakan di antara kita belum melakukan apa-apa, tetapi memilih yang terakhir. Yang lebih menyedihkan, justru banyak juga di antara kita membiarkan kemunkaran, meski itu di depan mata kita.
Alkisah, Imam An-Nawawi adalah seorang ulama salaf yang dikenal zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis.
Beliau juga dikenal menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa sekalipun. Suatu hari, beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang sangat halus.
Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang dikenal bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!.”
Namun beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Tentusaja sang Raja marah. ”Kenapa tak mau menandatangani?” Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya.”
Tapi sang pembantu raja bingung. ”Ia tidak punya jabatan sama sekali.”
Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Maka ketika Raja ditanya, ”Kenapa tidak engkau bunuh saja dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Sang raja menjawab,”Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Aktif, bukan pasif
Kemunkaran adalah semua yang dinilai jelek oleh syariat, yaitu yang hukumnya haram. Kemunkaran yang diubah adalah yang terlihat mata atau yang sejajar dengan kedudukan mata, dan mengubahnya ketika melihat kemunkaran tersebut.
Kemunkaran yang tidak terlihat mata tapi diketahui masuk dalam pembahasan nasihat. Dan yang diubah adalah kemunkarannya. Adapun pelakunya maka masalah tersendiri.
Mengubah kemunkaran tidak sama dengan menghilangkan kemunkaran. Oleh karena itu telah dikatakan mengubah kemunkaran jika telah mengingkarinya dengan lisannya atau hatinya, walaupun tidak menghilangkan kemunkaran itu dengan tangannya.
Batasan kewajiban mengubah kemunkaran terikat dengan kemampuan atau dugaan kuat. Artinya, jika seorang memiliki kemampuan untuk menghilangkan kemunkaran dengan tangan maka wajib untuk menghilangkan dengan tangannya. Demikian juga jika diduga kuat pengingkaran dengan lisan akan berfaedah maka wajib mengingkari dengan lisannya. Adapun pengingkaran dengan hati maka wajib bagi semuanya, karena setiap muslim pasti mampu untuk mengingkari dengan hatinya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ إِذْ أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
"Dari Zaid bin Aslam dari 'Atha` bin Yasar dari Abu Sa'id Al Khudri radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Mereka (para sahabat) berkata; "Wahai Rasulullah, Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami untuk bercakap-cakap." Beliau bersabda: "Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut." Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma'ruf nahi munkar." (HR. Buhari, 5761)
Meninggalkan Amar ma’ruf
Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu bentuk iqâmatul hujjah (penyampaian hujjah) bagi seluruh umat manusia secara umum, dan para pelaku maksiat secara khusus. Sehingga ketika turun musibah dan bencana mereka tidak bisa berdalih dengan tidak adanya orang yang memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka. Mereka juga tidak bisa beralasan dengan hal yanga sama di hadapan Allah Ta’ala kelak.
Allah Ta’ala berfirman:
رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً
"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasu-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS an-Nisâ:165)
Karenanya, dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar akan terlepas tanggungan kewajiban untuk melaksanakannya (lazim disebut barâtu dzimmah) dari pundak orang-orang yang telah menjalankannya. Namun jika tidak ada yang berinisiatif menegakkan, maka dosanya akan ditanggung semua kaum Muslim. Dengan demikian, maka kedudukan amar ma’ruf dan nahi munkar sesungguhnya bersifat aktif bukan pasif.
Banyak kemaksiatan di sekitar kita. Di jalan-jalan, banyak remaja melakukan maksiat tanpa ada yang menasehati dan memperingatkan. Di pasar, di mall, bahkan di depat pintu rumah kita sekalipun, maksiat meraja lela. Sayang, tak banyak di antara kita “turun” untuk memberi peringatan dan nasehat. Jika itu terus terjadi, maka kelak orang berpendapat, kemaksiatan adalah sesuatu yang baik dan tidak salah.
Inilah saatnya kita beramar ma’ruf. Marilah kita melakukan sesuatu –terutama dalam menengakkan amar ma’ruf dan nahi munkar—di sekitar kita. Sebab tak selamanya diam itu selalu identik dengan “emas”.*
AB Maulana. Penulis adalah orangtua 4 orang anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar