Selasa, 27 September 2011

Inilah Sepeda Fixie seharga 1 Milyar, Mau?32,180

Ini dia, sepeda fixie termahal di dunia. Namanya Aurumania Gold Bike Crystal Editions, Sepeda Fixie ini dibandrol seharga $ 102.418, nyaris mencapai 1 Milyar. Sepeda Fixie termahal di dunia ini dibuat dengan tangan, berlapis emas 24 Karat, dan dihiasi sekitar 600 Swarovski crystals. Pada bagian handle grips dan sadle nya dilapisi kulit premium yang dijahit tangan. Berikut Foto Sepeda Fixie Termahal di Dunia :

Sepeda Fixie atau fixie bike ini dibuat dalam edisi terbatas, hanya dibuat 50 unit ini, diperuntukan bagi para milyuner pecinta fixie, Harga Sepeda Fixie Aurumania diatas, termasuk ongkos kirim ke belahan dunia manapun.

Jangan Diam, Karena Diam Tak Selalu Identik "Emas"!

Jangan Diam, Karena Diam Tak Selalu Identik "Emas"!
HARI itu, saya mendapatkan pelajaran berharga dari seorang teman wanita. Sebut saja namanya Fitri (30). Hari itu, mantan aktivis masjid kampus yang juga seorang penulis masalah-masalah kewanitaan ini sedang menuju sebuah warnet untuk mengirim sebuah email penting. Di sebelah Fitri, duduk seorang pasangan remaja menggunakan baju SMU. Si wanita, bahkan menggunakan kerudung (jilbab).
Belum lama Fitri menggunakan fasilitas komputer warnet, nampaknya ia telah gelisah dan tidak berkosentrasi. Beberapa detik kemudian, Fitri berdiri dan menghampiri kedua pasangan belia tersebut.
“Anda berdua sekolah di mana?,” ujarnya dengan pertanyaan sangat sopan.
“Sekolah di dekat sini saja mbak, memang ada apa?” jawab si pria.
“Boleh nggak saya bertanya sesuatu, “ lanjut Fitri. “Apakah Anda berdua sudah ingin menikah? Ataukah Anda berdua memiliki masalah dengan orangtua atas hubungan Anda berdua ini?
“Tidak. Kami tak ada masalah dengan ortu. Bahkan kami belum menikah, memang ada apa sebenarnya?,” tanya si pria dengan penuh penasaran.
“Nah, kalau itu masalahnya, Anda tidak boleh semena-mena menampakkan layaknya suami-istri di depan orang seperti ini. Jika Anda ingin segera menikah, atau ingin menikah tapi terbentur orangtua, saya bersedia membantu masalah Anda. Kalau perlu saya akan datangi orangtuamu untuk menjelaskan ini.
“Taukah Anda, bahwa apa yang Anda lakukan itu haram? Anda tak boleh melakukan peluk-cium dan lebih dari itu karena belum menikah. Apalagi Anda melakukan seenaknya di hadapan banyak orang, “ujar Fitri dengan tenang.
Entah karena merasa malu, atau waktu bermain di warnetnya habis, kedua pasangan itu segera beranjak pergi. Drama mengagetkan beberapa menit ini sempat disaksikan puluhan orang. Bahkan termasuk penjaga warnet.
“Saya ini wanita. Mungkin, saya tak mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar melebih layaknya pria. Tapi itulah yang bisa saya lakukan, sebagai bentuk selemah-lemahnya iman, “ ujar Fitri menjelaskan tindakannya itu kepada saya. Terus terang, sebagai pria saya sangat malu.
Mulai dari yang Remeh
Hari itu, aku telah mendapatkan pelajaran luar biasa dari seorang teman wanita saja yang luar biasa ini. Tapi berapa banyak di antara kita mau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar seperti Fitri?
Banyak di antara kita mengalami hal serupa, melihat langsung kemunkaran. Namun, banyak di antara kita mendiamkannya. Padahal, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah poros atau pusat yang agung dalam agama Islam. Kedua-duanya tak boleh dipisahkan. Tegaknya Islam di antaranya karena adanya amar ma’ruf dan nahi munkar.
Secara defenisi, ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari Allah.
Agama Islam menyuruh kepada pemeluknya untuk melakukan perbuatan yang baik, dan juga melarang atau mencegah pemeluknya untuk melakukan perbuatan yang keji serta munkar.
Ketika kedzaliman di mana-mana, kemaksiatan merajalela, kebodohan melanda, ketika akhlak manusia berubah menjadi layaknya hewan karena hawa nafsunya, dan bahkan manusia sudah tidak punya hati nurani lagi, saat itu datang Rasulullah Muhammad diutus oleh Allah SWT. Beliau datang untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Masalah ini dijelaskan dalam dalam surat Ali Imran ayat 110 yang artinya,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُون
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS: Ali Imran: 110).
Dari surat ini, Allah SWT mengatakan sendiri, bahwa umat Muhammad adalah umat terbaik, yang selalu menyeru kepada yang ma’ruf dan senantiasa mencegak kemunkaran. Bukan mendiamkan kemunkaran dan kemaksiatan.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Barangsiapa melihat suatu kemunkaran hendalah ia merobah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa kita diminta untuk mencegah kemunkaran sebisa mungkin dan dengan tahapan yang jelas. Pertama dengan tangan, kedua dengan lisan. Baru ketika semua tak mampu dilakukan, maka yang terakhir baru dengan doa.
Namum umumnya kebanyakan di antara kita belum melakukan apa-apa, tetapi memilih yang terakhir. Yang lebih menyedihkan, justru banyak juga di antara kita membiarkan kemunkaran, meski itu di depan mata kita.
Alkisah, Imam An-Nawawi adalah seorang ulama salaf yang dikenal zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis.
Beliau juga dikenal menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa sekalipun. Suatu hari, beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang sangat halus.
Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang dikenal bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!.”
Namun beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Tentusaja sang Raja marah. ”Kenapa tak mau menandatangani?” Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya.”
Tapi sang pembantu raja bingung. ”Ia tidak punya jabatan sama sekali.”
Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Maka ketika Raja ditanya, ”Kenapa tidak engkau bunuh saja dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Sang raja menjawab,”Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Aktif, bukan pasif
Kemunkaran adalah semua yang dinilai jelek oleh syariat, yaitu yang hukumnya haram. Kemunkaran yang diubah adalah yang terlihat mata atau yang sejajar dengan kedudukan mata, dan mengubahnya ketika melihat kemunkaran tersebut.
Kemunkaran yang tidak terlihat mata tapi diketahui masuk dalam pembahasan nasihat. Dan yang diubah adalah kemunkarannya. Adapun pelakunya maka masalah tersendiri.
Mengubah kemunkaran tidak sama dengan menghilangkan kemunkaran. Oleh karena itu telah dikatakan mengubah kemunkaran jika telah mengingkarinya dengan lisannya atau hatinya, walaupun tidak menghilangkan kemunkaran itu dengan tangannya.
Batasan kewajiban mengubah kemunkaran terikat dengan kemampuan atau dugaan kuat. Artinya, jika seorang memiliki kemampuan untuk menghilangkan kemunkaran dengan tangan maka wajib untuk menghilangkan dengan tangannya. Demikian juga jika diduga kuat pengingkaran dengan lisan akan berfaedah maka wajib mengingkari dengan lisannya. Adapun pengingkaran dengan hati maka wajib bagi semuanya, karena setiap muslim pasti mampu untuk mengingkari dengan hatinya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ إِذْ أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
"Dari Zaid bin Aslam dari 'Atha` bin Yasar dari Abu Sa'id Al Khudri radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Mereka (para sahabat) berkata; "Wahai Rasulullah, Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami untuk bercakap-cakap." Beliau bersabda: "Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut." Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma'ruf nahi munkar." (HR. Buhari, 5761)
Meninggalkan Amar ma’ruf
Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu bentuk iqâmatul hujjah (penyampaian hujjah) bagi seluruh umat manusia secara umum, dan para pelaku maksiat secara khusus. Sehingga ketika turun musibah dan bencana mereka tidak bisa berdalih dengan tidak adanya orang yang memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka. Mereka juga tidak bisa beralasan dengan hal yanga sama di hadapan Allah Ta’ala kelak.
Allah Ta’ala berfirman:
رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً
"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasu-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS an-Nisâ:165)
Karenanya, dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar akan terlepas tanggungan kewajiban untuk melaksanakannya (lazim disebut barâtu dzimmah) dari pundak orang-orang yang telah menjalankannya. Namun jika tidak ada yang berinisiatif menegakkan, maka dosanya akan ditanggung semua kaum Muslim. Dengan demikian, maka kedudukan amar ma’ruf dan nahi munkar sesungguhnya bersifat aktif bukan pasif.
Banyak kemaksiatan di sekitar kita. Di jalan-jalan, banyak remaja melakukan maksiat tanpa ada yang menasehati dan memperingatkan. Di pasar, di mall, bahkan di depat pintu rumah kita sekalipun, maksiat meraja lela. Sayang, tak banyak di antara kita “turun” untuk memberi peringatan dan nasehat. Jika itu terus terjadi, maka kelak orang berpendapat, kemaksiatan adalah sesuatu yang baik dan tidak salah.
Inilah saatnya kita beramar ma’ruf. Marilah kita melakukan sesuatu –terutama dalam menengakkan amar ma’ruf dan nahi munkar—di sekitar kita. Sebab tak selamanya diam itu selalu identik dengan “emas”.*
AB Maulana. Penulis adalah orangtua 4 orang anak

Senin, 26 September 2011

Qiblatayn: Masjid dengan Dua Kiblat









Bangunan fisiknya telah mengalami renovasi berkali-kali. Sehingga masjid sakral bernilai sejarah itu semakin indah dengan arsitektur Islam-nya yang sangat kental.


Kekhusyu’an tampak menyelimuti suasana shalat berjama’ah yang diimami langsung oleh Rasulullah, rakaat demi rakaat. Namun tatkala sampai pada rakaat kedua, tiba-tiba belia membalikkan badanya hingga 80 derajat ke arah selatan dan melanjutkan shalatnya. Para makmum, walau merasa keheranan, mengikuti perpindahan arah shalat.
Sepenggal kisah itu terdapat dalam sebuah hadits yang menjelaskan perpindahan arah kiblat pada bulan Rajab 12 H/633 M silam ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat Zhuhur di Masjid Bani Salamah di Quba dalam perjalanan hijrah ke Madinah.
Kiblat, yang kala itu menghadap ke utara (Palestina, tepat Masjidil Aqsha berediri), berpindah ke arah selatan (menghadap ke Masjidil Haram, di Makkah). Sebagaimana diabadikan dalam QS Al-Baqarah ayat 144, yang memerintahkan mengubah arah kiblat dari Baitul Maqdis di Palestina, setelah kurang lebih selama 17 bulan 13 hari umat Islam shalat menghadap ke sana, berpindah ke Ka'bah, di Masjidil Haram, Makkah.
Masjid yang kini terletak di atas sebuah bukit kecil utara Harrah, persis di tepi jalan menuju Kampus Universitas Madinah, itu dinamakan Masjid Qiblatayn, yang berarti “dua kiblat”.
Bangunan fisiknya telah mengalami renovasi berkali-kali. Al-Syuja’i Syahin Al-Jamaly, pada tahun 893 H/ 1487 M untuk yang pertama kali merenovasinya. Kemudian kembali disempurnakan oleh Sultan Sulaiman,pada tahun 950 H/ 1543 M, tanpa menghilangkan ciri khas masjid. Sehingga masjid sakral bernilai sejarah itu semakin indah dengan arsitektur Islam-nya yang sangat kental.
Pada pemugaran-pemugaran terdahulu, tanda kiblat pertama masih jelas terlihat dengan petunjuk yang tertera kaligrafi QS Al-Baqarah, ayat 144, lengkap dengan pelarangan shalat menghadap atau menggunakan kiblat lama. Sayang, setelah mengalami perluasan bangunan pada masa Kerajaan Arab Saudi, pentunjuk itu dihilangkan.
Di sebelah Masjid Qiblatayn ada telaga Sumur Raumah, sebuah sumber air milik orang Yahudi, namun, atas anjuran Rasulullah SAW, Khalifah Utsman bin Affan menebus telaga tersebut seharga 20 ribu dirham dan mewakafkannya untuk kepentingan masjid dan jama’ah.
Menariknya, air telaga tersebut hingga sekarang masih berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masjid serta penduduk sekitar dan tidak pernah kering. Namun kini bentuk fisiknya tidak terlihat, karena ditutup dengan tembok, untuk melindunginya dari kerusakan.
Masjid Qiblatayn memang tidak pernah sepi pengunjung. Seperti jamaah haji dan umrah tatkala berkunjung ke Madinah, yang selalu menyempatkan diri berziarah ke masjid tersebut. Biasanya, penziarah pun shalat di masjid itu.

Masjid Al-Aqsha’ dan Qubbah Al-Shakhra’

Apa yang anda ketahui tentang Masjid al-Aqsha?

Perhatikanlah setiap saat disebut nama masjid Al-Aqsha selalu yang ditampilkan adalah masjid Qubah Al-Shakhra’ yang dibangun oleh Sayyidina Umar ra bukan masjid Al-Aqsha. Dan banyak diantara kita yang tidak tahu bagaimana bentuknya masjid Al-Aqsha’. Hal ini kembali kepada maksud busuk Yahudi untuk menghapus masjid Al-Aqsha’ dari ingatan muslimin. Mereka sengaja atau tidak sengaja selalu menampilkan foto masjid Qubbah al-Shakhra dan mengenyampingkan masjid Al-Aqsha sehingga ia lebih tenar dan dikenal dikalangan masyarakat muslim atau non muslim ketimbang masjid Al-Aqsha. Masjid Al-Aqsha adalah masjid yang Rasulallah saw bermi’raj bersama sama Jibril ke langit, dan sebelum naik ke langit beliau sholat bersama sama para nabi dari mulai nabi Adam as sampai nabi Isa as. Allah telah memberi keberkahan kepada masjid tsb dan tempat2 di sekelilingnya, sesuai dengan Firman Allah. “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”


Perhatikan perbedaan atara Masjid Qubbah Al-Shakhra dan masjid Al-Aqsha

Masjid Qubbah Al-Shakhra
Masjid Al-Aqsha
Masjid Al-Aqsha
113
Bukit dimana Rasulallah saw naik ke langit disaat Mi’raj berada di dalam masjid Al-Aqsha

Masjid Merah







Masjid megah nan unik yang terletak di perempatan Jalan Pettah Bazaar, Kolombo, ini menyempurnakan perannya dalam membangun peradaban Islam, dengan berbagai kegiatan dawah.
Ornamen dinding belang berwarna merah dan putih begitu indah. Warna merah nan cerah, yang lebih dominan, sangat menyala di antara bangunan sekitarnya. Karenanya masyarakat menyebut Masjid Jamiul Alfar di Kolombo, Sri Lanka, ini sebagai Samman Kottu Palli (bahasa Tamil), Rathu Paliya (bahasa Sinhala), Red Mosque (bahasa Inggris), Masjid Adzfar (bahasa Arab), yang berarti “Masjid Merah”.

Meskipun demikian, kecerahan itu tidak menghilangkan nilai spiritual dan kekhusyu’an jama’ah.

Warna merah nan cerah tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang melancong kawasan Kolombo.

Sedang warna hijau toska mendominasi dinding bagian dalam ruangangan. Pola lengkungan pada bagian atap dinding begitu indah, terdapat pada hampir setiap pintu masuk yang menghubungkan bagian halaman dalam masjid dengan ruang tempat shalat di lantai dasar. Arsitekturnya memperlihatkan kekayaan kebudayaan Islam yang dipadu dengan kemegahan bangunan kastil Inggris.

Seperti masjid pada umumnya, masjid tertua di kota Kolombo ini juga memiliki menara masjid. Di Masjid Jamiul Alfar ini terdapat 14 menara. Terdiri dari dua menara berukuran sedang, dan sisanya berukuran kecil.

Masjid yang dibangun pada tahun 1909 ini disebut-sebut sebagai land mark Sri Lanka. Untuk mencapai hasil yang maksimal, Saibo Lebbe, sang arsitek, merancang bagunan ini selama satu tahun pada tahun 1908.

Masjid Jamiul Alfar sempat mengalami perbaikan dan perluasan bangunan. Awalnya masjid ini hanya mampu menampung 1.500 jama’ah. Seiring perkembangan Islam di Sri Lanka, masjid ini tak lagi mampu menampung jama’ah. Maka, pada tahun tahun 1975, panitia masjid melakukan perluasan dengan membangun gedung tambahan di sebelah bangunan lama masjid.

Kini, setelah mengalami perluasan itu, masjid ini mampu menampung sekitar 5.000 jama’ah.

Sebagaimana di negara-negara muslim, ketika Hari Raya tiba, jama’ah membludak di sekitar masjid. Maka, sekeliling jalan masjid, yang biasanya sangat sibuk dengan aktivitas perdagangan, disulap menjadi bagian tempat ibadah umat Islam, yang tentu saja menjadi sangat rapi dan bersih.

Kemudian, untuk perluasan yang kedua kalinya, pengurus masjid membeli lahan di belakang masjid yang telah berdiri sebuah pusat perbelanjaan dengan 32 buah toko.

Tahun 2009 lalu, perluasan itu dimulai. Diperkirakan, perluasan kedua ini akan menelan biaya sekitar 2,4 juta dolar AS (Rp 240 miliar).

Masjid yang direncanakan akan mampu menampung 10.000 jama’ah ini akan dilengkapi dengan sebuah gedung aula yang akan digunakan untuk tempat pertemuan dan ruang istirahat bagi para musafir.

Pengembangan tahap dua ini akan dilakukan dengan menambah bangunan utama masjid menjadi bangunan empat lantai.

Untuk memudahkan jamaa’ah berusia lanjut, bangunan masjid juga akan dilengkapi dengan eskalator menuju lantai dua, tiga, dan empat.

Selain itu, masjid ini juga akan menyediakan ruang shalat, tempat wudhu, dan ruang istirahat khusus untuk perempuan secara terpisah dengan gaya kontemporer.

Selain menjadi pusat ibadah umat Islam di Sri Lanka, Masjid Jamiul Alfar juga telah memainkan peran penting dalam tatanan sosial kehidupan. Dahulu, masjid ini menjadi tempat berlindung masyarakat dari gangguan dan ancaman selama berkecamuknya konflik etnis yang melanda Sri Lanka dua dekade terakhir.

Kini masjid megah nan unik yang terletak di perempatan Jalan Pettah Bazaar ini menyempurnakan perannya dalam membangun peradaban Islam, dengan berbagai kegiatan dawah.

Masjid Agung Roma, Termegah di Eropa








Tempat ibadah dan kegiatan umat Islam di Italia ini menjadi simbol toleransi di jantung Katholik.
Roma. Kota kuno nan cantik itu begitu tersohor dibelahan dunia. Ibu kota negara Republik Italia ini menjadi pusat agama Katholik. Tepatnya di Vatikan, kebijakan keagamaan umat Katholik terpusat di sana.

Namun siapa yang mengira, ternyata kota yang identik dengan Katholik itu memiliki sebuah masjid megah yang berdiri sejak lama, yaitu Masjid Agung Roma, atau yang biasa disebut “Grande Moschea Masjid”.

Masjid ini menjadi simbol toleransi keberagamaan di Italia. Letaknya di Basilica, Santo Paulus Roma, persisi bersebelahan dengan Vatikan dan Sinagog Yahudi.

40.000 Jama’ah

Berdiri di atas lahan seluas 30 ribu meter persegi, masjid yang menjadi kebanggaan umat Islam Italia bahkan dunia ini mampu menampung sekitar 40.000 jama’ah. Lebih mengangumkan lagi, masjid ini merupakan masjid terbesar di daratan Eropa.

Keberadaan masjid di tengah kota Roma itu tak terlepas dari jasa almarhum Raja Faisal bin Abdul Aziz Al-Saud, pemimpin Arab Saudi, yang meninggal pada 1975. Kala itu, Raja Faisal meminta kepada Presiden Giovanni Leone, yang menjabat presiden Republik Italia ke-6 sejak tahun 1971-1978, untuk membangun masjid bagi umat Islam Roma. “Sudah seharusnya Roma memiliki sebuah masjid, lantaran saat itu, tahun 1970-an, terdapat sekitar 40 ribu muslim,” kata Raja Faisal kala itu (Puluhan tahun sebelumnya terjadi imigrasi muslim besar-besaran dari negara-negara Asia untuk mencari penghidupan yang lebih baik).

Lebih jauh, menurut Raja Faisal, rencana pembangunan masjid itu, selain sebagai tempat ibadah dan kegiatan umat Islam di Italia, juga bisa dimanfaatkan untuk menjalin hubungan akrab serta dialog antara umat Islam dan Kristen.

Presiden Leone menyambut baik usulan Raja Faisal. Ia berjanji akan menyediakan tanah untuk pembangunan masjid itu.

Maka, tepat pada tahun 1975, Presiden Leone mulai merealisasikan janjinya. Bersama Wali Kota Roma, Giulio Carlo Argan, ia menyumbangkan tanah seluas 30 ribu meter persegi yang kepada Pusat Kebudayaan Islam di Italia utuk dibangun sebuah masjid.

Namun, karena terjadi suksesi kepemimpinan di Italia, pembangunannya baru dimulai pada tanggal 11 Desember 1984. Peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Roma dilakukan oleh Presiden Italia saat itu, Alessandro Pertini. Pembangunan baru selesai 11 tahun kemudian, tepatnya tanggal 21 Juni 1995.

Pertemuan Dua Budaya

Masjid Agung Roma disebut-sebut sebagai masjid terindah di Eropa. Dari kawasan Lembah Tiber, masjid itu tampak menjulang tinggi menyaingi Montenne Mountain, sebuah bukit yang sangat subur di utara kota Roma.

Arsitek terkenal Italia, Paolo Portoghesi, dipercaya mendesain masjid ini setelah menyisihkan 40 arsitek lainnya dalam seleksi yang dilakukan Wali Kota Roma, Giulio Carlo Argan, bersama arsitek Avio Mattiozzi pada tahun 1975. Portoghesi juga dosen sejarah arsitek di Universitas Roma.

Menyadari tanggung jawabnya sangat besar dalam mengemban tugas membangun masjid di negeri itu, ia pun mempelajari sejarah Islam untuk memahami arsitektur Islam, bahkan ia pun mempelajari terjemahan Al-Quran. Tidak hanya itu, demi mendapatkan sumber yang lebih akurat, ia juga melakukan penelitian langsung ke Yordania, Sudan, Tukia, Mesir, dan Tunisia.

Sejak itulah, tepatnya pada tahun 1970-an, ia mulai mengenal arsitektur Islam, dan siap untuk mendesain masjid megah kebanggaan umat Islam.

Portoghesi mendesain masjid berarsitektur Islam klasik berpadu gaya Eropa. Gaya Islam-nya, ia terinspirasikan Al-Quran surah An-Nur, yang berarti “cahaya”. Sedang gaya Eropa-nya, karena ia ingin melestarikan seni bangun negerinya.

Masjid ini memiliki enam belas kubah ditambah sebuah kubah besar di tengah yang atasnya dihiasi bulan sabit, simbol Islam. Desain interior kubahnya saling silang. Dan menjadi ciri khas masjid ini.

Teknik semen bersilang membuat bagian-bagian lengkungan tersebut terlihat begitu apik, menyimbolkan pertemuan dua kebudayaan: Islam dan Eropa.

1,030 Juta Muslim di Italia

“Sukses membangun masjid ini telah memberikan kebahagiaan tersendiri buat saya. Selama mendedikasikan diri saya dalam seni arsitektur 20 tahun, baru kali ini saya bisa mewujudkan karya bangunan arsitektur abad lalu yang menggambarkan keindahan dan kedamaian begitu rupa,” kata Portoghesi.

Rancangan ruang utama masjid, Portoghesi terinspirasikan dari arsitektur Islam klasik. Ruang ibadahnya didesain begitu luas, berbentuk persegi.

Sementara untuk ruang ibadah wanita, dibangun dua balkon di dua sisi ruang utama.

Untuk mendekorasi interior ruang utama masjid, arsitek yang juga pernah merancang Masjid Agung Strasbourg di Prancis ini mendatangkan sejumlah pengrajin tangan ahli dari Maroko. Menggambar berbagai mosaik yang membatasi balkon, relung, dan basis-basis lajur. Lajur-lajur yang didesain Portoghesi mengikuti motif klasik dari tipe lengkungan seperti yang ada di sebagian besar masjid kuno. Pola mosaik yang indah terdapat di lantai atas.

Masjid karya Portoghesi ini juga tampak megah dengan adanya pilar-pilar pada bagian dalam dan luar bangunan utama setinggi 40 meter. Pilar-pilar masjid ini terlihat berbeda dengan pilar-pilar masjid-masjid yang ada di negara-negara Islam lainnya. Perbedaan itu terlihat pada bagian menara masjid yang memiliki bentuk semacam palem di hutan Maghribi, Maroko. Ada sekitar 186 pilar di bagian luar, 32 pilar di bagian dalam, dan dua buah menara yang tegak terpisah dari bangunan utama masjid. Terpisahnya menara itu dapat dipandang sebagai sebuah tugu, yang biasanya ditempatkan di ujung jalan-jalan kota Roma. Ini mewarisi gaya Eropa.

Kemegahan bangunan masjid ini juga bisa dilihat pada dekorasi lantai masjid, yang terdiri dari beraneka warna dan memiliki motif geometris yang berbentuk bintang. Adapun bahannya terbuat dari marmer, batu alam, dan batu bata khas Roma.

Halaman sekitar bangunan masjid disulap menjadi taman yang indah dilengkapi dengan air mancur yang jernih. Pohon palem, cemara, dan beberapa jenis pohon lainnya menutupi sekitar area masjid, menciptakan suasana teduh. Jalan-jalan kecil setapak dibuat di sekitar lokasi taman untuk memudahkan para pengunjung yang hendak menikmati keindahan taman masjid.

Portoghesi melihat arsitektur Islam sebagai hal yang begitu luhur, sehingga ia memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk medesain Masjid Agung Roma.

Kini, masjid megah itu menjadi kebanggaan 1,030 juta muslim di Italia. Ya, saat ini tercatat warga muslim menjadi pemeluk agama terbesar kedua di Italia setelah Katholik.

Bazar Ramadhan

Pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini, Masjid Agung Roma tidak berbeda seperti masjid pada umumnya, lebih ramai dan bergeliat memainkan peranya sebagai pusat peribadahan. Setiap waktu shalat, umat Islam Italia berbondong-bondong mendatangi masjid itu, mengikuti shalat berjama’ah. Berbagai ibadah sunnah Ramadhan pun begitu hidup, seperti tilawah, qiyamu al-lail, i’tikaf.

Begitu juga menjelang waktu berbuka puasa. Muslim Italia memilih ngabuburit di lingkungan masjid. Mempelajari berbagai sejarah Islam yang digelar pengurus masjid, atau sekadar menikmati keindahan dan kemegahan masjid. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang memilih berbuka dengan ta’jil yang disediakan panitia, berlanjut dengan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya. “Kami memilih melakukan shalat lima waktu, Tarawih, serta shalat berjama’ah lainnya di masjid ini, lantaran kami ingin merasakan suasana Ramadhan di Yaman, seraya mengobati rindu,” demikian kata Dr. Abdul Wali Asy-Syamiri, imigran Yaman di Roma.

Memanjakan muslim Italia, pengurus masjid juga mengadakan bazar Ramadhan di halaman masjid dengan berbagai menu Timur Tengah, Asia, dan Italia tentunya. Pedagang-pedagang di sekitar masjid juga ada yang menjual makanan khas Arab, seperti kurma, kismis, manisan.

Begitu antusias umat Islam Italia untuk beribadah di Masjid Agung Roma, sehingga jama’ah yang berasal dari luar kota pun berbondong-bondong datang ke sana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Terlebih di bulan mulia yang penuh ampunan ini.

Masjid Schwetzingen: Berdiri demi Toleransi

“Jika muslim Turki hijrah ke negara ini dan mampu mengamalkan esensi ajarannya dengan baik dan benar, kita akan mendirikan masjid untuk mereka,” kata Raja Frederick II.
Perkembangan Islam di Eropa semakin pesat. Sejalan dengan itu, ribuan tempat ibadah berdiri dengan megah. Tak terkecuali di Jerman. Siapa yang mengira, di negara itu terdapat ribuan masjid sejak akhir abad ke-18. Sedikitnya sekitar 2.500 masjid, namun hanya 160 yang dikenal luas.

Salah satu masjid yang terkenal hingga ke pelosok dunia adalah Masjid Schwetzingen. Masjid yang terletak di kompleks Istana Schwetzingen, Jerman, ini adalah masjid pertama yang dibangun di Jerman. Adalah Raja Frederick II yang membangunnya pada tahun 1796. Menurutnya, semua agama adalah sama dan baik. “Jika muslim Turki hijrah ke negara ini dan mampu mengamalkan esensi ajarannya dengan baik dan benar, kita akan mendirikan masjid untuk mereka,” katanya.

Pada tahun 1779 arsitek berkebangsaan Prancis, Nicolas de Pigage, mulai merancang masjid. Proses pembangunannya sendiri memakan waktu selaman 15 tahun, sejak tahun 1779, hingga tahun 1796.

Konon, selain untuk menghormati toleransi, Masjid Schwetzingen sengaja dibangun sebagai hadiah kepada salah satu bangsawan kerajaan yang beragama Islam.

Masjid Schwetzingen terbilang unik. Lokasinya berada di dalam kompleks Istana Schwetzingen. Bagunan Masjid Schwetzingen mengedepankan gaya arsitektur Oriental. Namun bukan berarti menafikan gaya arsitektur Islam. Arsitek kelahiran 1723, Nicolas de Pigage, juga menggabungkan arsitektur Oriental dengan elemen-elemen dari arsitektur Islam Moor dan eksotisme dari kisah-kisah dongeng Seribu Satu Malam. Masjid ini disebut-sebut sebagai bangunan terbesar pertama bergaya Oriental.

Tak hanya itu. Sang arsitek merancang Masjid Schwetzingen dengan menggunakan konsep taman. Karenanya, masjid ini menjadi masjid taman pertama yang dibangun pada abad ke-18, dan hingga kini masih berdiri megah di kawasan Eropa. Taman yang berada di sekeliling bangunan masjid mengadopsi konsep taman-taman di Turki.

Pesona arsitektur Timur secara jelas sudah bisa ditangkap manakala pengunjung melihat bagian luar bangunan Masjid Schwetzingen. Pengaruh arsitektur Timur ini semakin tampak jelas kita pengunjung memasuki bagian tengah masjid, yang berbentuk kubah bundar, yang diapit oleh ruangan-ruangan berbentuk persegi. Sementara gaya Oriental juga tampak kental pada interior masjid, dengan penggunaan mozaik marmer pada lantai di ruang bagian tengah.

Bagian langit-langit masjid dihiasi dengan ornamen dari bahan plesteran. Sementara bagian atas tembok diberi delapan buah pilaster yang berfungsi untuk memperkuat kedudukan tembok agar kokoh. Di bagian tengah bangunan masjid terdapat ruangan khusus bagi para imam masjid.

Permukaan dinding masjid bagian dalam dihiasi lukisan dan sepuhan emas. Sementara permukaan dinding masjid bagian luar dan di langit-langit kubah dihiasi dengan kaligrafi kutipan ayat-ayat Al-Quran surah tertentu.

Untuk mencapai bagian teras depan masjid, pengunjung harus melewati sejumlah tiang pilar yang dari kejauhan tampak terlihat seperti memainkan siluet bayangan dan cahaya secara bergantian.

Seperti bangunan masjid lainnya yang dibangun pada masa pemerintahan Turki Usmani, Masjid Schwetzingen juga dilengkapi dengan bangunan menara. Menara tersebut menghiasi kedua sisi bangunan masjid. Namun, sayangnya menara Masjid Schwetzingen ini tertutup bagi kunjungan wisatawan. Karena letaknya yang di dalam kompleks istana.

Kecuali hari Senin, bangunan Masjid Schwetzingen terbuka bagi kunjungan masyarakat umum. Tapi, yang juga disayangkan, bangunan masjid ini sekarang tidak lagi digunakan sebagai tempat shalat. Saat ini, Masjid Schwetzingen hanya difungsikan sebagai bangunan bersejarah dan obyek wisata, seperti halnya bangunan lainnya yang berada di dalam kompleks Istana Schwetzingen.

Padahal, seperti di Indonesia, misalnya, masjid-masjid klasik dan bernilai sejarah pun tetap digunakan sebagai tempat shalat. Bahkan masjid-masjid yang pernah menjadi tempat shalat para wali, misalnya, dipercaya lebih mustajab dan memberikan lebih banyak barakah.

BIOGRAFI JALALUDDIN AR-RUMI



BIOGRAFI JALALUDDIN AR-RUMI
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih
jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia
begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil
al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
————————————–
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang
tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah
guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat
yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah
sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan
akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit
itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila
mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu
yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah
yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.
Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam
agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan
yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan
para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.
Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.
Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak
terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena
tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum
pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan
selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang
lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah
kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi,
ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun
pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan
menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30
September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.
Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal
sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah
seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena
kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia
digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu
menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan
mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh
hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk
keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima
tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup
berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya
(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap
di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama
yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada
Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut
mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya
sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya
yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga
menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak
tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika
Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul
para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau
sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi
adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah
yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana
seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan
ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau
berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin
alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan
khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi
Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu
Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.
Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah
bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada
Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku
ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar
tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari
sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski
sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu
melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan
Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi
penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams
Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,
dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi
baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas
dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa
hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair
yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700
bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya
tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat
baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam
bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang
metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan
Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena
para penganut thariqat ini melakukan tarian
berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.
Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar
bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita
sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih
menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,
“Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu
dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika
engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan
bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember
1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,
penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan
kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai
Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para
pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati
tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar
Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya
memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan
Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama
yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik
cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi
dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang
menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang
mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha
Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering
dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan
minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota
Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji
Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi
menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk
bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.

Rabu, 07 September 2011

Etika Silaturrahmi, Bertamu dan Menerima Tamu

Bertamu dan menerima tamu adalah kegiatan sehari- hari yang sangat familiar di kalangan masyarakat kita. Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lainnya, bertamu menjadi media interaksi sosial antar tetangga. Karena tujuan silaturahim adalah untuk kebajikan, maka dibutuhkan etika agar membawa berkah baik bagi tamu maupun sang tuan rumah, meskipun itu keluarga kita sendiri.
Seringkali kita melupakan soal etika bersilaturahmi ini, padahal itu sangat penting diperhatikan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan saat bersilaturahmi. Tak hanya etika bagi tamu yang ingin bersilaturahmi, tuan rumah pun mempunyai etika menerima tamu. Misalnya, memperlakukan tamu dengan baik, menghidangkan makanan yang memuaskan tanpa harus bermewah-mewah, dan membuat tamu merasa nyaman berada di rumah kita.
Andai saja kita tahu betapa besarnya manfaat silaturahmi, niscaya sepanjang waktu rasanya ingin selalu bersilaturahmi. Setidaknya silaturahmi yang terjalin dengan baik akan menambah saudara baru dan mempereratnya, menambah wawasan dan ilmu.
Sering sekali diantara kita terjadi salah paham karena lemahnya komunikasi akibat jarangnya bersilahturami. Pendek kata silaturahmi yang teratur dan terprogram dengan baik adalah bagian kunci suksesnya hubungan persaudaraan kita ini.
Berikut adalah beberapa etika bersilaturahmi:
Untuk Tuan Rumah
  • Selalu bersikap dan berbicara ramah.
  • Menampakkan kegembiraan dengan kehadirannya.
  • Jangan hanya mengundang orang-orang yang berada/kaya untuk jamuan dan mengabaikan orang-orang yang kurang mampu.
  • Tidak memaksakan diri mengundang tamu.
  • Jangan membebani tamu untuk membantu.
  • Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya.
  • Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan hidangan sebelum tamu selesai menikmati jamuan.
  • Mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian.
Untuk Tamu
  • Memilih waktu berkunjung yang tepat, bukan pada saat orang beristirahat.
  • Mengetuk pintu secara wajar, jangan menggedor pintu.
  • Ucapkan salam dengan sopan dan tidak berteriak.
  • Ucapkan salam maksimum tiga kali, jika tidak ada jawaban, sebaiknya kembali lagi lain kali.
  • Tanyakan pada tuan rumah apakah ada acara atau kegiatan lain.
  • Jika bertamu karena undangan sebaiknya tidak terlambat.
  • Tidak memilih-milih undangan.
  • Jangan terlalu lama bertamu.
  • Jika harus menginap, tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali jika tuan rumah yang meminta.
  • Pulang dengan hati lapang dan memaafkan kekurangan yang terjadi.
Mudah-mudahan dengan etika di atas, dapat membuat hubungan antar kita menjadi lebih harmonis lagi.

7 Perkara Para Penghuni Kubur

Terdapat seorang pemuda yang kerjanya adalah menggali kubur dan mencuri kain kafan untuk dijual.

Pada suatu hari, pemuda tersebut berjumpa dengan seorang alim/ahli ibadah untuk menyatakan kekesalannya dan keinginan untuk bertaubat kepada Allah s.w.t

Dia berkata, "Sepanjang aku menggali kubur untuk mencuri kain kafan, aku telah melihat 7 perkara ganjil yang menimpa mayat-mayat tersebut. Lantaran aku merasa sangat insaf atas perbuatanku yang sangat keji itu dan aku ingin sekali bertaubat."

Yang pertama, aku lihat mayat yang pada siang harinya menghadap kiblat. Tetapi apabila aku menggali semula kuburnya pada waktu malam, aku lihat wajahnya telah membelakangkan kiblat. Mengapa terjadi begitu, wahai tuan guru?" tanya pemuda itu.

Wahai anak muda, mereka itulah golongan yang telah mensyirikkan Allah s.w.t. sewaktu hidupnya.

Allah s.w.t. pun menghinakan mereka dengan memalingkan wajah mereka dari mengadap kiblat, untuk membedakan mereka daripada golongan muslim yang lain," jawab ahli ibadah tersebut.

Sambung pemuda itu lagi, "Golongan yang kedua, aku lihat wajah mereka sangat elok saat mereka dimasukkan ke dalam liang lahat. Tatkala malam hari ketika aku menggali kubur mereka, ku lihat wajah mereka telah bertukar menjadi ****.
Mengapa begitu halnya, wahai tuan guru?"

Jawab ahli ibadah tersebut, "Wahai anak muda, mereka itulah golongan yang meremehkan dan meninggalkan sholat sewaktu hidupnya.

Sesungguhnya sholat merupakan amalan yang pertama sekali dihisab. Jika sempurna solat, maka sempurnalah amalan-amalan kita yang lain,"

Pemuda itu menyambung lagi, "Wahai tuan guru, golongan yang ketiga yang aku lihat, pada waktu siang mayatnya kelihatan seperti biasa saja. Tetapi saat aku menggali kuburnya pada waktu malam, ku lihat perutnya terlalu menggelembung, keluar pula ulat yang terlalu banyak dari perutnya itu."

"Mereka itulah golongan yang gemar memakan harta yang haram, wahai anak muda," balas ahli ibadah itu lagi.

Golongan keempat, ku lihat mayat yang jasadnya bertukar menjadi batu bulat yang hitam warnanya. Mengapa terjadi begitu, wahai tuan guru?"

Jawab ahli ibadah itu, "Wahai pemuda, itulah golongan manusia yang durhaka kepada kedua ibu bapanya sewaktu hayatnya. Sesungguhnya Allah s.w.t. sama sekali tidak ridho kepada manusia yang mendurhakai ibu bapanya."

Ku lihat ada pula mayat yang kukunya amat panjang, hingga membelit-belit seluruh tubuhnya dan keluar segala isi dari tubuhnya," sambung pemuda itu.

Anak muda, mereka itulah golongan yang gemar memutuskan silaturrahim. Semasa hidupnya mereka suka melakukan pertengkaran dan tidak bertegur sapa lebih daripada 3 hari.

Bukankah Rasulullah s.a.w.pernah bersabda,

Barang siapa yang tidak bertegur sapa melebihi 3 hari bukanlah termasuk dalam golongan umatku," jelas ahli ibadah tersebut.

Wahai guru, golongan yang keenam yang aku lihat, pada siang hari liang lahatnya kering kerontang. Tatkala malam ketika aku menggali semula kubur itu, ku lihat mayat tersebut terapung dan lahatnya dipenuhi air hitam yang amat busuk baunya,"

Wahai pemuda, itulah golongan yang memakan harta riba sewaktu hayatnya," jawab ahli ibadah tadi.

Wahai guru, golongan yang terakhir yang aku lihat, mayatnya sentiasa tersenyum dan berseri-seri pula wajahnya.

Mengapa demikian halnya wahai tuan guru?" tanya pemuda itu lagi. Jawab ahli ibadah tersebut, "Wahai pemuda, mereka itulah golongan manusia yang berilmu. Dan mereka beramal pula dengan ilmunya sewaktu hayat mereka.

Inilah golongan yang memperoleh keridhaan dan kemuliaan di sisi Allah s.w.t. baik sewaktu hayatnya mahupun sesudah matinya."

Ingatlah, sesungguhnya daripada Allah s.w.t kita datang dan kepadaNya jualah kita akan kembali.

Kita akan dipertanggungjawabkan atas setiap amal yang kita lakukan, hatta walaupun amalan sebesar zarah.

Pertemuan Rasulullah dengan Kekasihnya Menghadap Hadirat Allah SWT

Allah SWT telah menentukan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Siapa pun pasti akan ditemui oleh kematian. Tidak peduli apapun jabatan dan kedudukannya. Tua atau muda, sakit atau tidak, pria maupun wanita, jika tiba ajalnya maka tidaklah dapat dimajukan atau diundurkan walau sesaat.
Para Anbiya' telah menghadap Allah, umat-umat terdahulu telah merasakan kematian. Tidak terkecuali Nabi kita tercinta Nabi Muhammad SAW. Sebagai hamba Allah, beliau tak luput dari kematian. Hal ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 30 (yang artinya):
"Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati."
Untuk sebagian orang, kematian dianggap suatu yang menakutkan, tetapi untuk pribadi Rasulullah SAW kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu karena dengan itulah beliau berjumpa dengan Kekasihnya. Tuhan sekalian alam. Setiap kekasih akan selalu senang berkumpul dan bersua dengan yang dicintainya.

Wafat Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, dan beliau wafat pada hari Senin pula. Menurut jumhur ulama'beliau saw meninggal pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal di waktu dhuha(awal siang). Dan dikebumikan pada hari Rabu.
Hari itu hari Jumat. Rasulullah SAW jatuh sakit. Orang-orang silih ganti membesuk beliau.
Esoknya beliau masih sakit. Esoknya lagi belum sembuh. Dan seterusnya. Pada hari ke-17, hari Ahad, sakit beliau memburuk sangat. Beliau tidak kuat bangun.
Fajar merekah, Bilal r.a. mengumandangkan adzan. Seperti biasa, usai adzan, dia berjalan ke depan pintu kediaman Nabi SAW.
"Assalamu’alaika ya Rasulallah," katanya.
"Waktunya shalat, rahimakallah."
Beliau mendengar panggilan Bilal ini, namun Fathimah r.a. yang menyahut,
"Bilal, Rasulallah SAW hari ini udzur. Beliau tidak kuat bangun."
Bilal masuk kembali ke dalam masjid. Ketika hari meremang, Bilal berkata pada diri sendiri,
"Demi Allah, aku tidak akan menyeru iqamat, sebelum aku meminta izin pada Rasulullah Saw."
Dia pun kembali ke pintu rumah beliau.
"Assalamu’alaika ya Rasulallah wa barakatuh. Ash-shalah yarhamukallah (Waktunya shalat, mudah-mudahan Allah merahmatimu)."
Mendengar panggilan ini, beliau bersabda,
"Masuklah Bilal, Rasulallah SAW sangat payah, tak bisa bangun. Suruh Abu Bakar mengimami jamaah."
Bilal keluar dari kediaman beliau sembari menaruh dua tangannya di belakang kepala.
"Duh, tolonglah Gusti. Duh, putus sudah harapan. Duh, remuk redam punggungku. Andaikan ibuku tak pernah melahirkanku. Ah, tapi dia sudah melahirkanku. Andai saja aku tidak melihat kondisi Rasulullah SAW hari ini."
Setiba di dalam masjid dia berkata,
"Abu Bakar, Rasulullah SAW menyuruhmu mengimami shalat jamaah."
Abu Bakar r.a. berjalan menuju ke mihrab. Dia adalah lelaki kurus. Ketika melihat tempat di mana Rasulullah SAW biasa berdiri sekarang kosong, dia tidak tahan. Dia jatuh bergedebam. Pingsan. Orang-orang langsung gaduh. Semua menangis. Rasulullah SAW mendengar suara gaduh ini.
"Ada apa kok gaduh?" tanya beliau.
"Kaum muslimin gaduh karena kehilangan Engkau, ya Rasulallah."
Beliau memanggil Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Dengan bertelekan pada tubuh mereka, beliau berjalan ke luar ke masjid. Kemudian beliau mengimami slalat shubuh dengan cepat. Usai shalat, beliau memalingkan muka beliau yang bagus, menghadap ke arah jamaah.
"Kaum muslimin sekalian, aku titipkan kalian kepada Allah. Kalian akan berada di bawah perlindungan Allah dan keamanan-Nya. Allah menggantikanku bagi kalian. Kaum muslimin sekalian, hendaklah kalian tetap bertakwa pada Allah, tetap menjaga taat pada-Nya setelah kematianku. Aku akan segera meninggalkan dunia ini. Ini adalah hari permulaan akhiratku dan hari terakhir duniaku."
Keesokan harinya, sakit beliau bertambah parah. Allah menyampaikan wahyu pada malaikat pencabut nyawa,
"Turunlah kamu ke tempat kekasih-Ku, pilihan-Ku, Muhammad SAW dengan rupa paling bagus. Cabutlah nyawanya dengan lembut."
Maka turunlah malaikat maut. Dia berdiri di depan pintu rumah beliau dengan rupa orang Badui (pedalaman).
"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk?"
Aisyah r.a. menoleh ke arah Fathimah r.a.
"Tolong lelaki itu dijawab."
Fathimah berkata,
"Mudah-mudahan Allah membalas jalan Anda, wahai Abdullah (hamba Allah). Rasulullah SAW sedang udzur, sakit sangat parah."
Lelaki di luar pintu tersebut tidak beranjak dari tempat. Dia malah menyeru seperti tadi. Aisyah berpaling ke arah Fathimah,
"Fathimah, tolong lelaki itu dijawab."
"Mudah-mudahan Allah membalas jalanmu, tapi Rasulullah SAW sedang payah, sakit sangat parah."
Lelaki itu kembali memanggil untuk yang ketiga kali.
"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk? Saya memang harus masuk."
Rasulullah SAW mendengar panggilan ini.
"Fathimah, siapa di pintu?" tanya beliau.
"Ya Rasulallah, seorang lelaki berdiri di depan pintu. Dia minta izin untuk masuk. Kami sudah jawab berkali-kali. Lalu untuk ketiga kali dia menyeru dengan suara yang membuat bulu kudukku berdiri, bergetar seluruh tubuhku."
"Fathimah, tahukah Kamu siapa di depan pintu itu? Dia adalah penghancur kelezatan dan pemisah jamaah. Dia membuat istri-istri menjadi janda, anak-anak jadi yatim. Dia peroboh rumah-rumah dan pemakmur kubur-kubur. Masuklah rahimakallah, wahai malaikat maut."
Maka masuklah si malaikat maut. Nabi SAW bersabda,
"Malaikat maut, engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawa?"
"Aku datang untuk berziarah sekaligus mencabut nyawa. Allah memerintahkan aku supaya tidak masuk ke rumahmu kecuali dengan izinmu, dan tidak mencabut nyawamu kecuali dengan izinmu. Kalau kamu izinkan, aku masuk. Kalau tidak, aku kembali pada Tuhanku."
"Malaikat maut, di mana kau tinggalkan kekasihku, Jibril?"
"Aku tinggalkan dia di langit dunia. Sementara para malaikat lain bertakziah kepadanya untuk Baginda."
Tak lama kemudian Jibril a.s. datang. Dia duduk di damping kepala beliau.
"Jibril, ini adalah keberangkatan dari dunia. Berilah aku kabar gembira, tentang aku kemudian Allah."
"Pintu-pintu langit telah dihias bagus. Para malaikat berdiri berbaris memakai wewangian dan dengan ucapan selamat. Mereka hendak menyongsong ruhmu, Muhammad."
"Hanya untuk Allah segala pujian. Berilah aku kabar gembira, Jibril."
"Aku beri kabar gembira bahwa pintu-pintu surga telah dihias indah. Bengawan-bengawannya sudah dialirkan. Pohon-pohonnya sudah berjuntai ke bawah. Para bidadarinya telah bersolek guna menyambut kedatanganmu, Muhammad."
"Hanya bagi Allah segala pujian. Beri aku kabar gembira, Jibril."
"Engkau bakal menjadi orang yang pertama kali memberi syafaat, dan orang pertama yang diberi syafaat pada hari kiamat."
"Hanya bagi Allah segala pujian."
"Kekasihku, tentang apakah Engkau hendak bertanya?"
"Aku ingin bertanya mengenai kegundahanku. Siapakah (penjaga bagi) pembaca-pembaca Quran setelahku? Siapakah yang berpuasa bulan Ramadhan setelahku? Siapakah berhaji ke Baitullah setelahku? Siapakah umatku yang terpilih setelahku?"
"Berbahagialah, kekasih Allah, karena Allah SWT berfirman, ‘Aku telah mengharamkan surga bagi seluruh nabi dan seluruh umat samapai Engkau memasukinya, dan umatmu.’"
"Sekarang hatiku lega. Malaikat maut, tunggu apa lagi, laksankan apa yang diperintahkan padamu."
Ali r.a. berkata,
"Ya Rasulallah, kalau nyawamu telah dicabut, siapakah yang akan memandikan jasadmu? Bagaimana kami mengkafanimu? Siapakah yang menyalatimu? Dan siapa yang masuk ke kuburmu?"
Beliau bersabda,
"Ali, adapun soal memandikan, hendaklah Engkau yang memandikanku. Al-Fadhal bin Abbas akan menuangkan air padamu, dan Jibril adalah orang ketiga dari kalian berdua. Kalau kalian sudah memandikanku, kafanilah aku dengan tiga lembar kain kafan yang baru, dan Jibril akan membawakan wewangian (untuk kafanku) dari surga. Bila kamu telah meletakkan jasadku di atas keranda, letakkan aku di dalam masjid. Keluarlah kalian, tinggalkan aku sendiri karena yang pertama kali shalat (memberi rahmat) padaku ialah Allah dari atas ‘Arasy-Nya. Lantas Jibril a.s., Mikail a.s., kemudian Isrofil a.s., menyolatiku. Selanjutnya para malaikat secara berkelompok-kelompok. Setelah itu, masuklah kalian ke dalam masjid. Berdiri berbarislah kalian dalam shaf-shaf. Tak seorang pun boleh maju daripada yang lain (menjadi imam)."
Fathimah r.a. berkata,
"Hari ini adalah hari perpisahan. Kapankah aku dapat menjumpaimu?"
"Pada hari kebangkitan (hari kiamat), lalu di telaga. Aku memberi minum pada orang-orang dari umatku yang datang ke telagaku."
"Kalau aku tidak dapat bertemu denganmu?"
"Di timbangan (Mizan). Aku akan memberi syafaat pada umatku"
"Kalau aku tidak jumpa?"
"Di Shirathal Mustaqim. Aku akan menyeru, ‘Tuhan, selamatkanlah umatku dari neraka.’"

Sakaratul Maut

Malaikat mendekat dan mulai mencabut nyawa beliau dengan lembut. Ketika ruh sampai di dua lutut, beliau berseru,
"Auh."
Ruh terus bergerak. Saat ruh sampai di pusar, beliau tersenyum,
"Oh sedihku."
Fathimah menyahut,
"Betapa sedihku, Ayahanda."
Ketika ruh mencapai dada, beliau bersabda,
"Jibril, betapa pahitnya kematian."
Jibril memalingkan mukanya. Dan beliau bersabda,
"Jibril, apa kamu tidak suka melihat keadaanku?"
"Kekasihku, siapa yang tahan melihatmu yang mengalami sakaratul maut?"
Lantas, beliau menghembuskan nafas terakhir. Ruh telah dicabut dari jasad beliau seluruhnya.
Kemudian, Ali memandikan jasad beliau, sementara Ibnu Abbas menuangkan air untuknya, dan Jibril berdiri menunggui.
Setelah itu, beliau dikafani dengan tiga lembar kain. Lalu dibawa di atas keranda ke dalam masjid. Setelah meletakkan keranda di sana, orang-orang keluar. Allah yang pertama memberi rahmat pada beliau. Dilanjutkan Jibril, Mikail, dan para malaikat menyalati.
"Kami mendengar suara ‘hm'yang bersahutan di dalam masjid, padahal kami tidak melihat satu sosok pun." kenang Ali.
Kemudian kami mendengar suara tanpa wujud,
'Masuklah kalian rahimakumullah. Shalatilah nabi kalian SAW.’
Maka kami masuk dan berdiri dalam shaf-shaf sebagaimana beliau perintahkan. Tak seorang pun dari kami maju. Kami bertakbir bersama takbir Jibril."
Kemudian upacara pemakaman. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., dan Ibnu Abbas r.a. masuk ke liang kubur, dan jasad beliau dikuburkan. Ketika orang-orang bubar, Fathimah r.a. berkata kepada Ali r.a., suaminya,
"Abal Hasan, kalian telah mengubur Rasulullah?"
"Ya."
"Tega sekali kalian menguruk jasad beliau dengan tanah. Tidak adakah rasa sayang di hati kalian kepada Rasulullah SAW? Bukankah beliau pembimbing kea rah kebajikan?"
"Tentu, Fathimah. Tetapi keputusan Allah tidak ada yang dapat menolak."
Seketika Fathimah menangis mengguguk.
"Oh ayah, sekarang terputuslah Jibril. Dulu Jibril biasa mendatangi kami membawa wahyu dari langit."
Beliau SAW menutup kehidupan dunia ini dengan ridho dan diridhoi oleh Allah SWT pada usia 63 tahun. Ketika meninggal, jasad beliau ditutupi kain dari Yaman. Para sahabat yang mendengar berita itu, spontan terkejut dan kaget seakan tidak percaya bahwa Nabi telah betul-betul menghadap Allah.
Umar bin Khattab awalnya mengingkari berita kematian Nabi itu, Utsman bin Affan pura-pura tuli sedang Ali bin Abi Thalib jatuh lemas. Dan sahabat yang lain menangis tertunduk lemah. Sungguh tidak ada yang lebih kuat menahan diri pada saat itu kecuali 'Abbas, paman Nabi dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Beliau dikafani dengan tiga lapis kain putih, dihamparkan karpet merah di bawah jasad Nabi ketika akan dikubur.
Yang mengurus pembuatan lahat Rasulullah SAW adalah sahabat Abu Thalhah. Beliau dikuburkan di rumah isteri tercintanya Sayyidah 'Aisyah r.a. dan setelah itu dikubur pula berdampingan dengan beliau dua sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW

Seorang hamba sahaya bernama Tsauban amat menyayangi dan merindui Nabi Muhammad saw. Sehari tidak berjumpa Nabi, dia rasakan seperti setahun. Kalau boleh dia hendak bersama Nabi setiap masa. Jika tidak bertemu Rasulullah, dia amat berasa sedih, murung dan seringkali menangis. Rasulullah juga demikian terhadap Tsauban. Baginda mengetahui betapa hebatnya kasihsayang Tsauban terhadap dirinya.
Suatu hari Tsauban berjumpa Rasulullah saw. Katanya "Ya Rasulullah, saya sebenarnya tidak sakit, tapi saya sangat sedih jika berpisah dan tidak bertemu denganmu walaupun sekejap. Jika dapat bertemu, barulah hatiku tenang dan bergembira sekali. Apabila memikirkan akhirat, hati saya bertambah cemas, takut-takut tidak dapat bersama denganmu. Kedudukanmu sudah tentu di syurga yang tinggi, manakala saya belum tentu kemungkinan di syurga paling bawah atau paling membimbangkan tidak dimasukkan ke dalam syurga langsung. Ketika itu saya tentu tidak bersua muka denganmu lagi."
Mendengar kata Tsauban, baginda amat terharu. Namun baginda tidak dapat berbuat apa-apa kerana itu urusan Allah. Setelah peristiwa itu, turunlah wahyu kepada Rasulullah saw, bermaksud "Barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya, maka mereka itu nanti akan bersama mereka yang diberi nikmat oleh Allah iaitu para nabi, syuhada, orang-orang soleh dan mereka yang sebaik-baik teman." Mendengarkan jaminan Allah ini, Tsauban menjadi gembira semula.
Moral & Iktibar
1.Cinta kepada Rasulullah adalah cinta sejati yang berlandaskan keimanan yang tulen
2.Mencintai Rasul bermakna mencintai Allah
3.Kita bersama siapa yang kita sayangi. Jika di dunia sayangkan nabi, insyallah kita bersama nabi di akhirat nanti
4.Hati yang dalam kecintaan terhadap seseorang akan merasa rindu yang teramat sangat jika tidak bertemu
5.Pasangan sahabat yang berjumpa dan berpisah kerana Allah semata-mata akan mendapat naungan Arasy di hari akhirat kelak
6.Rasulullah amat mengetahui mana-mana umatnya yang mencintai baginda, meskipun baginda sudah wafat.
7.Rasulullah memberi syafaat kepada sesiapa di antara umatnya yang mencintai dan mengasihi baginda.
8.Sebaik-baik sahabat ialah merek

Kisah Tentang Wanita-Wanita Yang Soleh

Ahmad bin Abdullah bin Husein bin Tohir bercerita kepadaku, "Sekali waktu aku pergi ke rumah saudara perempuanku, Nur. Dia berkata, "Wahai Ahmad, tolong ambilkan gula dan biji kopi". Aku naik ke atas loteng, tapi di sana tidak kutemukan apa-apa. Aku kembali menemuinya, "Perempuan tua anak Abdullah bin Husein, kau membohongiku". Ia menjawab, "Wahai anak ibumu, naik dan lihatlah!" Aku sekali lagi naik ke atas loteng dan tidak menemukan apa-apa. Dia lalu naik ke loteng bersamaku dan membuka lemari, tempat gula dan biji kopi yang tadi kosong, ternyata sekarang telah penuh.
Nur pernah berkata kepadaku, "Aku mendengar seruan Allah di akhir malam: Bangunlah, mintalah apa saja yang kau inginkan, kebutuhan dunia maupun agama, Aku akan memberimu saat ini juga". Ayah beliau, Habib Abdullah bin Husein memberinya wasiat:
Wahai Nur,
jika kau menginginkan nur,
dan hati makmur,
dada lapang dan bahagia,
taatlah selalu kepada Allah.
Ahmad bin Abdullah juga bercerita, "Suatu hari aku duduk bersama Nur. Ketika masuk waktu salat, ia bertanya, "Dimana arah kiblat?" Dengan maksud bercanda, aku menunjuk arah lain, bukan arah kiblat. Ketika ia mulai mengangkat tangannya hendak bertakbir, ia berkata, "Arah kiblatnya bukan ke situ. Kau pikir aku tidak tahu arah kiblat. Demi Allah, aku tidak mengucapkan takbiratul ihram, kecuali setelah benar-benar melihat ka'bah".
Suatu hari aku berkunjung ke rumah Hababah Nur bersama beberapa orang sahabatku. Hababah Nur berpesan, "Wahai keluargaku, curahkan perhatianmu pada ilmu Fiqih, sebab dengan ilmu Fiqih-lah syariat suci ini akan dapat tegak. Namun masyarakat telah meninggalkan ilmu Fiqih. Padahal ilmu fiqih merupakan inti (agama). Allah...Allah dalam Fiqih, ketahuilah ilmu ini akan hilang.
Dan kau (wahai Ali), hendak pergi ke Tarim, bukan? Jadikanlah semua topik ceramahmu tentang wara', juga masalah halal dan haram. Sebab, semua yang haram telah tersebar merata dan sikap wara' telah meninggalkan lembah ini. Anjurkanlah mereka untuk bersikap wara' dan meninggalkan semua yang syubhat. Ketahuilah, makanan haram akan melemahkan hati".
Perhatikan generasi dahulu, para wanitanya banyak yang saleh. Hababah Nur ini hidup di zamanku. Dikatakan bahwa: "Betapa banyak rambut terurai (wanita) lebih baik dari jenggot (pria)" Ibu Habib Abdullah bin Husein bin Tohir lebih agung lagi. Beliau adalah Hababah Syeikhoh binti Abdullah bin Yahya. Dari pasangan suami istri ini lahir Husein, Tohir, Abdullah dan Khodijah. Khodijah adalah ibu Habib Abdullah bin Umar bin Yahya.
Suatu hari Habib Abdulkadir bin Muhammad Al-Habsyi yang tinggal di Ghurfah mengunjungi para Habaib yang tinggal di kota Masileh. Mereka semua merasa senang dengan kedatangannya. Orang-orang mengatakan bahwa beliau gemar bermujahadah yang berat-berat, dan berulang kali melakukan arbainiyah (khalwat selama 40 hari). Selama dua puluh tahun beliau tidak minum air. Habib Tohir dan Habib Abdullah melaporkan hal ini kepada ibunya, "Wahai ibu, Habib Abdulkadir ini amalnya begini dan begini. Telah dua puluh tahun beliau tidak minum air".
"Dia lelaki yang baik, perbuatannya baik, dan apa yang telah disifatkan oleh orang-orang tentang dirinya sangat baik. Ambilkanlah sebuah teko lalu penuhilah dengan air", perintah ibunya. "Berikan teko ini kepadanya dan katakan: ibu kami mengucapkan salam dan berpesan agar kau meminum air ini sebagaimana kakekmu Muhammad saw meminumnya. Keutamaan kaum sholihin terletak pada kemampuannya meninggalkan larangan. Apakah selama dua puluh tahun ini engkau tidak mengerjakan yang makruh; apakah tidak pernah terlintas di hatimu untuk melakukannya? Kalau sekedar ibadah, para wanita tua pun dapat melakukannya. Demikian pesan ibu mereka setelah diambilkan teko yang penuh air.
"Kami tidak berani bersikap kurang ajar kepadanya, Bu". "Berikan teko ini lalu sampaikan pesanku kepadanya jika kalian menginginkan kebaikan dan keberkahan". Mereka berdua lalu menemui Habib Abdulkadir dan menyampaikan pesan ibunya. "Benar, ibumu benar. Sungguh dia adalah seorang murabbiyah (pendidik) yang baik. Sungguh beliau sebaik-baik muaddibah (pendidik). Sungguh baik ucapannya. Bawa sini air itu", jawab Habib Abdulkadir. Setelah teko Itu beralih ke tangannya, beliau pun segera meminum airnya. (N:102-105)
Suatu hari aku dan Ahmad Ali Makarim berjalan-jalan di kota Bur. Kami berbincang-bincang tentang masalah nafs. Jauh dari situ ada beberapa wanita sedang mencari kayu di tepi sungai yang sudah kering. Tiba-tiba salah seorang dari wanita-wanita itu mendatangi kami dan berkata, "Tidak ada yang merintangi manusia dari Tuhannya kecuali nafs". Kami berkata kepadanya, "Kau benar, Allah telah memuliakanmu dengan hikmah". Wanita itu kemudian pergi untuk bergabung kembali dengan teman-temannya. Rupanya pembicaraan kami di-kasyf oleh wanita tadi. (N:235)
Sholeh bin Nukh berkata kepadaku, "Wahai Habib Ali, aku memiliki anak perempuan yang saleh". "Bagaimana kau tahu dia seorang saleh?" "Aku pernah bertanya kepadanya, "Senangkah kau jika ada seseorang yang memberimu satu peti perhiasan?" Dia menjawab, "Wahai ayah, apakah perhiasan ini dapat menyenangkan hati seseorang? Perhiasan hanya akan melukai hati". Aku bertanya lagi, "Bagaimana pendapatmu jika kau dapat melihat Allah Yang Maha Mulia?" Mendengar ucapanku ini, ia terjatuh dan menangis selama tiga hari. Apakah ia seorang wanita saleh?"
"Ya, dia adalah seorang wanita yang saleh...sungguh-sungguh wanita yang saleh?" Salim bin Abubakar (bin Abdullah Alatas) berkata kepadaku, "Aku pernah mendengar Sholeh bin Nukh dan anak perempuannya berdzikir kepada Allah berdua di rumahnya, suara mereka seakan-akan suara 100 orang". (N:463-464)